www.peristiwaaktual.com.ǁNTT,17 Oktober 2025-Begitu suara sirine menggema di udara, Mama Maria Leba (49) buru-buru menggandeng tangan anaknya menuju sebuah lapangan tak jauh dari rumahnya.
Di sana, puluhan warga sudah berkumpul. Aparat kelurahan dan petugas berseragam sibuk mencatat nama, sementara tenaga kesehatan memeriksa kondisi warga lanjut usia.
Pagi itu, Kamis (16/10), suasana di RT 07, 08, 09, dan 10 Kelurahan Namodale, jantung Kota Ba’a, berubah menjadi “lapangan latihan” menghadapi cuaca ekstrem.
Pemerintah Kabupaten Rote Ndao bersama Program SIAP SIAGA NTT menggelar gladi lapangan Rencana Kontinjensi Cuaca Ekstrem — sebuah simulasi untuk menguji sejauh mana kesiapan masyarakat ketika ancaman cuaca buruk benar-benar datang.
Dalam simulasi tersebut, warga keempat RT terpadat pendudukanya di Kelurahan Namodale ini berlatih menghadapi skenario hujan deras dan angin kencang yang menyebabkan genangan air, kerusakan rumah, dan gangguan listrik.
“Beta baru tahu, ternyata tanda sirine itu artinya kita harus segera ke titik kumpul,” ujar Mama Yohana sambil tersenyum lega.
Suara sirine dari pengeras suara terus meraung di sudut-sudut kampung. Di sisi lain, para staf kelurahan dan para petugas BPBD membantu proses evakuasi sambil berkoordinasi dengan berbagai instansi.
Mereka mencatat waktu respons, kesiapan logistik, serta kemampuan tim medis menangani situasi darurat.
Dua penyandang disabilitas terlihat mendapat bantuan petugas.
Beberapa ibu hamil dipapah keluar rumah, sementara korban luka ringan ditangani di tenda medis darurat yang telah disiapkan.
Menurut Kepala Pelaksana BPBD Rote Ndao, Janwes N.H. Nauk, S.STP, kegiatan seperti ini menjadi cara terbaik untuk memastikan bahwa rencana di atas kertas benar-benar dapat diterapkan di lapangan.
“Rencana kontinjensi ini hasil kerja bersama banyak pihak, tapi yang paling penting adalah bagaimana warga memahaminya. Gladi lapangan seperti ini membantu kita mengukur apa yang sudah siap dan apa yang masih perlu diperbaiki,” ujarnya.
Pemerintah Kabupaten Rote-Ndao bersama Program SIAP SIAGA NTT menggelar gladi lapangan Rencana Kontinjensi Cuaca Ekstrem
Lurah Namodale, Agustinus Ndolu, SE, menjelaskan alasan dipilihnya RT 07 sampai RT 10 sebagai lokasi simulasi karena wilayah ini berada di dekat hulu sungai dan pesisir pantai — kawasan yang hampir setiap tahun menjadi langganan banjir maupun banjir rob.
Kelurahan Namodale memiliki 13 RT, dan sekitar separuh penduduknya tinggal di area yang menjadi lokasi simulasi. Kampung nelayan Tou Ndao ini juga dikenal dengan kerajinan tenun ikat yang dikerjakan para perempuan, sementara kaum laki-laki kebanyakan bekerja sebagai nelayan.
Namun, kampung yang dipisahkan dari kota tua Ba’a oleh sebuah sungai ini hampir selalu diterpa banjir.
“Hampir tiap tahun ada saja rumah warga yang rusak karena banjir. Saat Siklon Seroja, banyak rumah roboh tertimpa pohon kelapa. Hampir seluruh warga mengungsi ke Gereja Betania karena dianggap paling aman dan mudah dijangkau,” tutur Agustinus.
Ia menilai, uji coba seperti ini memberikan pemahaman nyata tentang pentingnya kesiapsiagaan untuk mengurangi risiko korban jiwa.
“Kalau kegiatan seperti ini dilakukan secara rutin, warga pasti akan semakin siap. Kami sangat mengapresiasi BPBD dan SIAP SIAGA NTT yang telah menyiapkan dan melaksanakan kegiatan ini,” katanya.
Meskipun belum semua warga terlibat, ia berharap peserta yang ikut dapat menularkan pengetahuan dan pengalaman kepada warga lainnya.
Bagi warga Namodale, gladi lapangan ini bukan sekadar latihan satu hari. Mereka belajar mengenali risiko, merencanakan jalur evakuasi, dan memahami pentingnya sistem peringatan dini.
“Lebih baik berlatih hari ini daripada panik nanti saat badai datang,” ujar Mama Maria Karwayu (42) selepas simulasi.
Maria mengingat, latihan sebelumnya hanya melibatkan aparat RT, RW, dan Posyandu. Kali ini, keterlibatan warga jauh lebih luas.
“Kalau kejadian sungguh-sungguh, kotong sudah tahu jalan keluarnya, sonde panik lagi. Sudah tahu cara simpan berkas penting dan ke mana harus berkumpul,” katanya.
Ia masih teringat bagaimana saat Siklon Seroja, ia panik dan mengungsi bersama cucunya yang masih bayi karena salah menerima informasi. “Sekarang beta lebih tenang. Walau latihan ini bikin ketawa-ketawa, tapi kami belajar hal penting,” ujarnya.
Ferni Aplugi, seorang penenun yang juga ikut simulasi, menuturkan bahwa keselamatan keluarga jauh lebih penting daripada harta benda.
“Kalau bencana, yang pertama diselamatkan itu anak-anak, bukan barang. Waktu Seroja, saya bawa mama dan anak kecil, yang besar lari sendiri,” katanya.
Bagi Ferni, latihan ini memberi keyakinan dan rasa siap. “Seandainya bencana datang lagi, kami sudah tahu jalurnya. Bukan hanya bantu diri sendiri, tapi bisa bantu orang lain juga.”
Siang itu, setelah warga berkumpul di titik kumpul, evakuasi pun dilakukan. Petugas dari BPBD, BASARNAS, Polsek Lobalain, dan prajurit Kodim 1627 Rote Ndao bekerja sesuai peran masing-masing.
Jalur evakuasi telah disiapkan: dari Pekuburan Letelangga, melewati pertigaan Letelangga, Gereja Katolik Paroki Santo Kristoforus, lalu menuju Lapangan Ba’a dan berakhir di Gereja GMIT Betania Ba’a — tempat yang telah ditetapkan sebagai lokasi evakuasi utama.
Sekitar tujuh puluh warga berhasil dievakuasi dengan tertib. Lokasi ini memang telah menjadi tempat perlindungan bagi warga Namodale dari berbagai agama sejak bencana Siklon Tropis Seroja pada 4–5 April 2021.
Warga yang terluka mendapat perawatan medis, sementara lainnya menata diri untuk beristirahat di gedung gereja.
Pendeta Jois R. Tulle, Ketua Majelis Jemaat Betania Ba’a, menilai simulasi ini penting bagi kesiapsiagaan warga jemaat.
“Pengalaman Seroja membuka mata kita semua tentang pentingnya kesiapan menghadapi bencana. Tak seorang pun tahu kapan bencana datang, tapi kita bertanggung jawab untuk mengantisipasinya,” ujarnya.
Senada dengan itu, Pendeta Yanto Balukh menambahkan bahwa banyak warga Jemaat Betania tinggal di kawasan rawan longsor. Saat Seroja melanda, gereja mereka ditunjuk oleh Sinode GMIT sebagai posko pengungsian untuk seluruh masyarakat Namodale.
“Pelayanan kami tidak terbatas bagi warga GMIT saja, tapi juga untuk semua warga sekitar,” katanya.
Dari sisi teknis, Yeheskiel M. Nalle, SH, Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Rote Ndao, menjelaskan bahwa simulasi seperti ini sangat membantu masyarakat menghadapi situasi nyata.
“Mereka yang pernah berlatih tidak akan mudah panik. Kepanikan justru memperburuk keadaan dan memperbesar risiko. Panik bisa membunuh kita lebih cepat daripada bencana itu sendiri,” ujarnya.
Ia menambahkan, kegiatan ini akan dilakukan secara berkala untuk menurunkan indeks risiko bencana di Rote Ndao.
“Kalau masyarakat terbiasa berlatih, mereka akan tangguh menghadapi bencana,” katanya.
Ketua Forum Disabilitas Rote Ndao, Aloysius Owon (45), juga mengapresiasi pelaksanaan simulasi kali ini.
“Kalau sebelumnya kurang serius, sekarang semuanya tampak terkoordinasi dan lebih detail. Peserta pun lebih menghayati perannya,” ungkapnya.
Di Namodale terdapat sekitar dua puluh penyandang disabilitas dari berbagai ragam. Menurut Aloysius, data mereka kini diperbarui secara berkala untuk memudahkan relawan menemukan mereka bila terjadi bencana.
“Sudah ada peta posisi teman-teman disabilitas, jadi relawan tidak sulit menemukan mereka. Tapi data ini harus terus diperbarui,” ujarnya.
Menjelang siang, setelah pengarahan dan doa bersama, warga Tou Ndao pulang dengan wajah lega — membawa satu pelajaran penting: bahwa kesiapsiagaan bukan urusan pemerintah semata, melainkan tanggung jawab bersama.
“Latihan seperti ini mengingatkan kita bahwa bencana bukan hal yang jauh. Kalau kita siaga, korban bisa dicegah dan dampaknya bisa dikurangi,” kata Mama Maria Leba menutup hari itu.

